Masyarakat Langkat Wajib Tahu Sejarah Rumah Besar Stabat dan Mesjid Raya Stabat
- Penulis : Agusma Hidayat
Kota Dalam merupakan pusat kerajaan Langkat lama sejak dipindahkan oleh Raja Kahar bin Raja Abdullah dari Kota Datar Hamparan Perak ke Kota Dalam Secanggang pada tahun 1750. Posisi kota dalam dalam peta Belanda ialah berada di Kota Lama (Karang Gading), desa Perkotaan dan Lubuk Dalam (antara kp. Nangka hingga ke Sei Karang).
Sekitar tahun 1750an, Tan Husin bin Panglima Dewa Sakti, adik dari Raja Abdullah (Raja Langkat), pakcik dari Raja Kahar membuka pemukiman di Kampung Inai Lama (Cinta Raja) yang masih merupakan kawasan Kota Dalam. Sedangkan Tan Jabbar bin Panglima Dewa Sakti, adik dari Raja Abdullah (Raja Langkat) membangun pemukiman didaerah Paya Jongkong.
Dimasa Raja Badiuzzaman Kota Dalampun diperluas hingga ke tepi Sei Wampu untuk membangun Bandar Diraja Kota Pelabuhan yaitu dari Kampung Nangka, Kampung Kepala Sungai, Kampung Pulau Haji (2008: Suka Mulia), dan Kampung Inai Lama (Cinta Raja) sejak 1780 hingga 1821.
Pada 1815, kerajaan Siak melakukan ekspansi militer ke Langkat dengan menyerang pusat kerajaan Langkat yang di duga di bantu oleh Belanda yang sudah memiliki pangkalan militer di Malaka. Pada saat itu, Raja Badiuzzaman dan Putra Mahkota nya Kejuruan Tuah Hitam mundur hingga Kota Dalam berhasil diduduki oleh Kerajaan Siak.
Pada 1818, Kejuruan Tuah Hitam setelah mendapatkan bantuan Askar, Persenjataan dan Amunisi ingin menyerang balas dan merebut kembali Kota Dalam dari tangan Kerajaan Siak. Namun naas, dalam perjalanannya di aliran Sei Wampu, Tuah Hitam menemui Buaya dan menembakinya hingga amunisi yang diletakkan sembarangan di perahunya meledak sehingga Kejuruan Tuah Hitam bersama Panglima Banding wafat saat itu juga dan di makamkan di Jentera Malay tepatnya di Ampera 2. (Sumber: John Anderson 1823).
Pada 1821, Raja Badiuzzaman berangkat ke Kuala Kedah saat menghadiri acara adat pernikahan Putrinya Surya Marin di Kerajaan Kedah Tua. Saat itulah terjadi peristiwa Perang Musuh Bisik oleh tentera Budha (Thailand) yang sedang berkoalisi dengan Inggris saat itu. Raja Badiuzzaman wafat dan dimakamkan di Kuala Kedah saat diburu oleh Belanda dan Siak.
Setelah Kerajaan Langkat Lama mengalami kekosongan kekuasaan (Status Quo) pada 1821 kerajaan Siak memanggil anak Putra Mahkota Kejuruan Tuah Hitam yang berada di Jentera Malay yaitu Nobatsyah dan Putra tertua Indra Bongsu yaitu Ahmad ke Siak untuk di doktrin dan dinikahkan kepada putri Siak yaitu Tengku Fatimah (Nobatsyah) dan Tengku Bainah (Ahmad).
Nobatsyah diberi gelar Raja Bendahara sedangkan Ahmad diberi gelar Raja Muda. Kedua-duanya memimpin ditempat yang berbeda. Raja Bendahara berada di Kampung Terusan (Inai Lama) sedangkan Raja Muda Ahmad berada di kampung Kepala Sungai.
Pada 1824, meletuslah perang saudara antara Ahmad dan Nobatsyah sesuai siasat adu domba yang di buat Siak. Peperangan tersebut terjadi di Kerajaan Punggai (Payaroba). Dalam peperangan tersebut Nobatsyah wafat dan pertarungan di menangkan oleh Ahmad.
Antara tahun 1821 sampai 1824 lahirlah anak dari kedua belah pihak yang dinikahkan dengan Putri Sultan Siak (Perkawinan Politik).
Setelah terjadinya perang saudara, Raja Muda Ahmad pindah ke daerah Gebang karena situasi sudah tidak aman lagi. Pada waktu itu Jentera Malay diambil alih oleh Tuanku Wan Supan karena di khawatirkan direbut oleh Siak sehingga kerajaan Stabat meluas dari Pantai Luas hingga Paya Jongkong yang merupakan Bandar Pelabuhannya.
Sampai akhirnya Raja Muda Ahmad wafat termakan racun di Punggai pada 1840 dan dimakamkan di dekat Istananya di Kp. Nangka (Kepala Sungai).
Kepemimpinanpun dilanjutkan oleh putranya Tengku Ngah Musa yang memperluas wilayahnya dari Gebang ke Kota Pati (Klamber) yang kini menjadi Tanjung Pura sejak 1840. Tengku Musa sempat menikahi putri Tuanku Wan Supan (Raja Stabat) namun tak memiliki keturunan, istrinya pun meninggal.
Kerajaan Langkat sering berhubungan dengan Datuk Hamparan Perak disebabkan wilayahnya berdekatan.
Sekitar tahun 1850an, Tengku Musa menyerang Kerajaan Bingai dan berhasil menewaskan Rajanya yang bernama Tuanku Wan Desan dan mengambil Puteri Raja Bingai yang bernama Tuanku Hj. Maslurah untuk dinikahi dengan kesepakatan politik. Diduga Siak-Belanda ikut membantu menaklukkan Bingai. Tuanku Wan Desan diduga dihanyutkan di Sei Wampu karena tak ditemukannya Makam Pusaranya.
Setelah Tuanku Wan Supan wafat, kepemimpinan digantikan oleh putra tertuanya yaitu Stan Matsyekh yang berkedudukan di Jentera Malay dari Paya Rengas hingga Ampera serta Pantai Luas dan Paya Jongkong sebagai Bandar Pelabuhannya yang saat itu masih bersandar 9 unit kapal perang Jongkong Kerajaan Langkat Lama.
Tak lama berselang, Stan Matsyekh melanjutkan perlawanan pendahulunya dari Raja Badiuzzaman, Kejuruan Tuah Hitam, Wan Djabar (Johor) dan ayahandanya Tuanku Wan Supan. Perlawanan dimulai sejak tahun 1862 hingga 1865. Pada Oktober 1865, Stan Matsyekh berhasil ditangkap dengan cara menjebaknya melalui perangkap menghadiri acara adat pernikahan mertuanya (Datuk Hamparan Perak). Saat Stan Matsyekh hendak membuka tudung saji (sangai) ternyata tak ada makanan didalamnya.
Ternyata tempat tersebut sudah dikepung oleh Tentara Belanda sedangkan Stan Matsyekh tidak membawa pasukan Askarnya. Setelah Stan Matsyekh tertangkap, beliau di bawa ke Batavia dengan menggunakan kapal perang Dasson dari Pelabuhan Belawan dan kemudian di buang atau diasingkan ke Sukabumi Jawa Barat hingga akhirnya wafat dalam pengasingannya pada Oktober 1885 dan tertulis di nisan makamnya di pelabuhan ratu “RAJA LANGKAT OCTOBER 1885”.
Tak lama berselang, kepemimpinan kerajaan Stabat dilanjutkan oleh Stan Mangedar dengan memindahkan keluarganya ke seberang sungai Wampu dari Stabat Lama dan Jentera Malay ke Stabat Baru dengan mendirikan Rumah Besar Kejuruan Stabat sejak tahun 1902 dan Masjid Raya 1904. Belandapun membangun Rumah Sakit, Titi Wampu di Stabat dan Rel Kereta Api di Pantai Gemi ke eks Johor.
Karena Kota Dalam sudah berhasil diduduki oleh Belanda-Siak dari Kp. Kepala Sungai, Kp. Pulau Haji dan Kp. Inai Lama (Cinta Raja). Pada tahun 1885 seluruh masyarakat Melayu di Kota Dalam digusur total untuk dijadikan perkebunan tembakau. Masyarakat yang berada di Kp. Inai Lama pindah membuka Kampung baru yaitu di Hinai Kiri dan Hinai Kanan, sedangkan masyarakat Kampung Pulau Haji bernasib sama membuka kampung baru yang dinamai Ara Condong dan Ulu Brayun.
Setelah menggusur pemukiman melayu di Kota Dalam, Belanda membawa ribuan budak perkebunan dari Tionghoa, Keling dan Jawa untuk membabat habis hutan pada 1886 untuk di buka perkebunan Tembakau dengan membangun Irigasi/Drainase, pintu air dan kolam tembakau di Kampung Inai Lama. Kemudian Pemukiman Kuli, Kantor administrasi Rumah Dinas, Menara air bersih serta fasilitas lainnya seperti rel kerata muntik di Cinta Raja.
Berakhirlah pusat kerajaan Langkat Lama yang dibangun Raja Kahar sejak 1750 hingga 1886 menjadi Perkebunan Tembakau dan Tebu hingga 1942 dan 1945.
Dimasa gejolak politik tahun 1946 terjadi kerusuhan sosial yang bedampak Semi Genosida Melayu Kesultanan Langkat hampir punah oleh Puak Komunis hingga 1965 hanya Zuriat Kerajaan Stabatlah yang bertahan di Rumah Besar dan Masjid Raya Stabat saat itu.
Sejak era Orba tahun 1970an menjadi Perkebunan Kakao hingga Sawit yang dikelola PT Buana Estate.